Pencegahan dan Pengendalian COVID-19 : Siapa Garda Terdepan?

Selama 3 bulan terakhir sejak awal Januari 2020 semua media massa diseluruh dunia dipenuhi kabar tentang Coronavirus Disease 2019 atau COVID-19 yang merupakan penyakit baru dengan penularan sangat cepat meluas sampai 180 Negara. Per tanggal 5 April 2020 sudah mencapai 2.273 jiwa kasus positif dan 198 kasus pasien meninggal dunia. Berbagai langkah strategis yang dilakukan oleh Pemimpin Negara Dunia dalam rangka pencegahan dan menangani pandemi COVID-19 ini, ada yang melakukan himbauan sosial distancing/physical distancing dan ada yang menerapkan kebijakan lockdown yakni menghentikan mobilitas warga dalam suatu wilayah. Demikian halnya di Indonesia Pemerintah akhirnya mengambil kebijakan berupa himbauan bagi seluruh warga Negara terutama di daerah red zone dengan transmisi local untuk melakukan sosial distancing/physical distancing yang kemudian berimplikasi kepada pembatasan kegiatan – kegiatan yang melibatkan banyak orang dan penutupan tempat – tempat umum seperti sekolah dan kampus diliburkan, anjuran bagi intansi dan perusahan untuk merumahkan karyawannya dengan work from home, dan pembatasan sosial berskala besar meskipun banyak pakar kesehatan masyarakat yang menilai langkah ini kurang efektif jika hanya sekedar himbauan dan tidak diikuti dengan regulasi yang jelas dan tegas. Sehingga sejak pertama kali kebijakan ini diberlakukan tidak ada perubahan yang signifikan, jumlah kasus makin meningkat secara eksponensial. Kebijakan inipun terkesan diabaikan oleh sebagian warga, mereka tetap keluar rumah demi alas an ekonomi, bahkan banyak yang akhirnya mudik dan menyebabkan penularan makin meluas kedaerah karena mobilitas antar daerah tidak ditutup sehingga tadinya beberapa provinsi tidak terdapat kasus tiba – tiba meningkat secara dratis jumlahnya, akirnya kebijakan ini menjadi pro kontra diberbagai pihak. Kebijakan pemerintah dinilai tidak tepat sasaran dan salah strategis dari awal COVID-19 ini merebak di Indonesia karena menempatkan para medis (Dokter dan Perawat) di garda terdepan. Bahkan jauh sebelum COVID-19 ini ada, kebijakan bidan Kesehatan memang mengarah ke-kuratif sehingga hal ini akhirnya menjadi boome-rang para medis di rumah sakit yang menangani COVID-19 menjadi kewalahan dengan banyaknya korban berjatuhan. Dimana jumlah paramedis dan kapasitas rumah sakit saat ini tidak memadai sementara kurva kasus positif COVID-19 ini terus naik. Hasil skenario modeling COVID-19 Indonesia yang dilakukan oleh para ahli biostatistik FKM UI memprediksi sekitar 2.5 juta jiwa akan terinfeksi dari 172 juta penduduk Indonesia dan puncaknya pada bulan April – Mei 2020. Situasi COVID-19 di Indonesia berada pada rangking ke-5 kasus dengan case fatality rate (CFR) tertinggi kelima dunia (8-10%). Ibarat dalam situasi peperangan, dalam menghadapi, mencegah dan menangani penularan penyakit COVID-19 ini dimana tenaga kesehatan baik para medis dan tenaga kesehatan masyarakat lainnya dianggap sebagai prajurit perang untuk melindungi kedaulatan Negara dan rakyatnya. Sebagai panglima perang, pemimpin Negara diharapkan mampu mengatur strategi dalam menempatkan prajuritnya di medan perang. Strategi yang mumpuni dan tepat sasaran tentu akan mempermudah dalam proses pembentukan kekuatan pertahanan. Ada prajurit yang ditempatkan pada benteng pertahanan pertama sebagai garda terdepan untuk menghadapi musuh, posisi ini sangat penting, sebab ia bagaikan pintu dalam sebuah rumah jika pintu ini berhasil di dobrak maka keamanan dan keselamatan seisi rumah akan terancam. Ada pula prajurit yang ditempatkan pada benteng pertahanan paling belakang atau bisa disebut sebagai garda terakhir, ini tak kala pentingnya bahkan sangat vital, sebab jika sampai musuh berhadapan dengan prajurit dibenteng pertahanan terakhir ini maka selangkah lagi musuh akan menguasai rumah kita, Negara beserta rakyatnya dalam kondisi diujung tanduk. Pertanyaannya dalam peperangan menghadapi COVID-19 ini siapa garda terdepannya ?. Berdasarkan UU No. 36 Tahun 2014 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tenaga kesehatan adalah tenaga medis (dokter), psikologi klinis, keperawatan, kebidanan, kefarmasian dan kesehatan masyarakat (epidemiologi, promosi kesehatan dan ilmu prilaku, pembimbing kesehatan kerja, administrasi dan kebijakan kesehatan, biostatistik dan kependudukan, serta kesehatan reproduksi dan keluarga), kesehatan lingkungan (sanitarian, entomologi, dan mikrobiologi kesehatan, gizi, keterapian fisik, keteknisian medis, teknik biomedika dan tenaga kesehatan lainnya. Respon pemerintah dalam menanggapi penyebaran COVID-19 di Indonesia dengan membangun beberapa rumah sakit dadakan khusus untuk penanganan COVID-19 ini merupakan bukti nyata pemerintah pemerintah telah mengeser posisi paramedis (dokter), perawat dan tenaga kesehatan lainnya untuk bertugas di rumah sakit dan pusat layanan kesehatan kesehatan primer lainnya kegarda terdepan. Hal ini sangat keliru dan merupakan strategi perang yang salah sebab langkah pertama dan utama menghadapi pandemic COVID-19 adalah mengedepankan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dimana domain utamanya adalah preventif (pencegahan) baru kemudian upaya Kesehatan Perorangan (UKP) dimana domain utamanya adalah kuratif (pengobatan), mencegah dulu baru mengobati bukan sebaliknya karena akan membuat kebijakan pemerintah semakin bias, mau mencegah penularan agar tidak jatuh korbanatau mengharapkan korban hingga disiapkan RS dahulu tanpa mengedepankan langkah – langkah preventif yang tepat sasaran. Kalau Pemerintah selangkah lebih cepat mengedepankan upaya preventif maka tidak perlu menghabiskan dana yang besar untuk membangun RS dadakan untuk perawatan dan karantina. Dalam pernyataan pers presiden tengan lagkah perlindungan sosial dan stimulus ekonomi menghadapi dampak COVID-19 (Jakarta, 31 Maret 2020) kebijakan yang spesifik untuk bidang kesehatan adalah disediakannya dana sebesar Rp. 75 triliun namun tak satupun arah jelas maupun alokasi dana menuju upaya prefentif untuk menekan COVID-19 agar tidak semakin meluas kedaerah tidak ada langkah kongkrit yang diambil, pelibatan tenaga kesehatan masyarakat menjadi kabur tidak terlihat. Pendapat dan masukan para ahli kesehatan masyarakat untuk segera melakukan karantina wilayah secara selektif dapat menjadi salah satu alternative memutus rantai penularan infeksi baik di dalam maupun di luar wilayah selain sudah efektif di Wuhan, karantina wilayah ini juga sudah diatur dalam UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pada epidemiolog yang paham pola persebaran penyakit menular menyarankan untuk melakukan karantina wilayah selama masa inkubasi 14 hari diwilaya yang menjadi epicentrum (zona merah) namun harus dengan aturan yang jelas dan tegas serta melibatkan kerjasama lintas sector terutama pelibatan tenaga kesmas sebagai ujung tombak promotif preventif di masyarakat. Pemerintah perlu segera mengevaluasi strategi kebijakan yang diambil lebih seimbang mendukung upaya kesehatan masyarakat (preventif) dan upaya kesehatan personal (kuratif), tidak berat sebelah, karena ketidakseimbangan kebijakan yang diambil pemerintah akan mengorbankan tenaga medis di ruang – ruang isolasi juga tenaga surveilans dilapangan. Akan memperparah komposisi tenaga kesehatan yang ada saat ini sebab jumlahnya tidak seimbang dengan rasio jumlah kasus yang terus meningkat sementara tenaga kesehatan stagnan tidak bertambah bahkan berkurang karena pada saat yang sama juga menjadi korban. Jangan sampai Indonesia menjadi Italia di Asia Tenggara. Menurut konsep five level of prevention (Leavel and Clark) menyatakan bahwa dalam upaya pencegahan penyakit terdapat 5 tahapan utama, yakni : 1. Health Promotion (Promosi Kesehatan); 2. Spesifik Protection (Perlindungan Khusus); 3. Early Diagnosis and Prompt Treatment (Diagnosis Dini dan pengobatan yang Cepat dan Tepat); 4. Disability Limitation (Pembatasan Kecacatan) 5. Rehabilitation (Rehabilitas). Dari sini kita bisa melihat konsep five level of prevention menempatkan promosi kesehatan ditahap pertama dan utama dalam upaya pencegahan penyakit dan merupakan ujung tombak yang mampu mengerakan secara sosial atau masyarakat banyak yang nantinya bisa menjadi suatu kebiasaan lalu berkembang menjadi suatu kultur atau budaya. Promosi kesehatan merupakan upaya untuk penggerakan perubahan sosial, pengembangan lingkungan,kemampuan individu dalam masyarakat untuk merubah prilaku dalam rangka meningkatkan status kesehatan masyarakat. Upaya diagnosis dini dan pengobatan yang cepat dan tepat justru berada pada level ke tida setelah Health Promotion dan Spesifik Protection. Melalui promosi kesehatan ini memungkinkan setiap individu untuk meningkatkan derajat kesehatannya secara fisik mental dan sosial sehingga individu dalam masyarakat dapat mencapai kesehatan yang optimal, produktif mencukupi kebutuhannya, serta mengubah atau mengatasi lingkungan yang mengancam kesehatannya. Jadi promosi kesehatan tidak hanya bertanggung jawab pada sector kesehatan saja, melainkan juga gaya hidup untuk lebih sehat secara sosial. Penyebab COVID-19 ini adalah virus yang mudah dimusnahkan hanya dengan cuci tangan berkala pakai sabun di air mengalir, menjaga kebersihan diri (personal hygiene) dan sanitasi lingkungan. Masyarakat butuh dipahamkan hal inni dan tenagaKesmas yang punya ilmunya. Para Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) yang ditempatkan di Puskesmas telah dbekali ilmu antropologi dan komunikasi kesehatan yang merupakan jurus ampuh menggerakan komunitas atau masyarakat yang beragam. Jika mereka dioptimalkan perannya, support system-nya bagus, senjata dan amunisi perannya dipenuhi, akomodasi dan ope-rasionalnya dimudahkan. Hasilnya pasti mengejutkan sebab tenaga kesmas inilah yang akan menguatkan secara teknis dari kebjakan preventif pemerintah, yang langsung berhadapan dengan masyarakat, menahan laju penyebaran penyakit agar tidak sampai pada garis pertahanan belakang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jokowi kembali menaikan iuran BPJS Kesehatan

Stigma, Diskriminasi di Masyarakat dan Mereka yang Bertaruh Nyawa di Garda Depan

KEBERPIHAKAN DESA DALAM PEMBANGUNAN KESEHATAN